Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"KLIK"
Pelatuk ditarik sempurna, lalu dia bicara. Datar dan dingin. "Baiklah, Bajingan. Apa yang kamu inginkan?"
Aku gemetar. Laras revolver itu ditekan ke pelipisku. Dingin.
Memelas, "Aku ingin hidup."
"Tidak. Kamu akan mati, entah dengan pistol ini, atau nanti dengan kanker atau korona. Yang pasti kamu akan mati. Jadi aku ulang lagi." Ia tekan lebih kuat revolvernya ke pelipisku.
"Apa yang kamu inginkan?"
Aku kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Sederhana. Apa yang kamu inginkan? Uang? Kekuasaan? Pasangan? Jawab! Aku hitung sampai lima sebelum... yah, kamu tahu selanjutnya, dan itu bukan enam."
Aku gemetar makin kuat, tapi otakku segera mencari jawaban. Aku tahu kalau aku asal menjawab, dia tidak akan puas, dan itu tidak akan baik.
"Satu."
Aku tidak tahu.
"Dua"
Sungguh aku tidak tahu, tapi entah kenapa dari semua impuls yang mengalir ke otakku, satu opsi menyala dan aku mengatakannya.
"Menulis!"
"Apa?"
"Aku ingin menulis!"
"Menulis apa? Novel, skenario, buku pelajaran?"
"Novel! Aku ingin seperti J. K. Rowling, atau George Martin!"
"Nah, akhirnya." Ia longgarkan laras revolvernya dari pelipisku, tapi masih mengacungkannya. Ia masih mengancam. "Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"A-aku tidak tahu?"
Dia kembali menekankan revolvernya.
"Konsepnya sudah ada! Konsepnya sudah ada!" pekik aku cepat, dan dia kembali melonggarkan revolvernya. "Tinggal mengembangkannya."
"Baiklah, Bajingan. Bulan depan aku akan datang lagi. Lihat progres kamu. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tahu kamu tidak akan bisa sembunyi dariku, kan? Mengangguk kalau kamu mengerti."
Aku mengangguk cepat.
Kemudian dia menghilang. Tapi tidak dengan revolvernya karena revolvernya ada ditanganku.
Dia memang menghilang, tapi aku sangat yakin dia akan kembali. Dia ada di dalam kepalaku. Buah dari otak yang mulai kena scizo.... Sebuah glitch yang bisa jadi terbangun oleh ulahku sendiri.
Haruskah aku mengobatinya? Ataukah aku akan bersyukur nantinya bila aku biarkan? Atau benar-benar akan menyesal?
Aku tidak tahu.
Tapi aku tahu, aku mesti mulai menulis. Secepatnya.
Baris pertama, baris kedua, lalu paragraf satu mulai terangkai.
Sayangnya mataku lalu menengok ke arah dipan. "Sepertinya komunitas peralatan tidur seakan tersenyum dan memanggil-manggil", batinku.
Yang terjadi selanjutnya aku masuk ke alam mimpi, meninggalkan laptop yang masih menyala.