Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kuharap ini hanya mimpi.
Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Badanku dibanjiri peluh.
Arrrgghhh!
Suara geraman terdengar dari luar kamarku. Suara itu mirip suara binatang, tetapi kalau didengarkan dengan saksama, suara itu mirip zombi. Sama seperti film yang kutonton tadi.
Aku keluar kamar saat mendengar suara keributan di luar, seperti barang-barang dapur yang dilempar.
Aku menoleh ke samping saat mendengar derap langkah kaki yang semakin cepat, disusul suara geraman.
Aku melototkan mata saat melihat sosok adikku berubah menjadi makhluk lain.
"Zombi?"
Wajah adikku dipenuhi bercak darah dan borok, kulitnya berubah warna menjadi kehijauan. Kakinya bengkok sehingga dia kesulitan berjalan, tangannya memuntir ke belakang kepala. Ia tampak mengerikan.
Aku berlari saat dia mengejarku. Aku sangat ketakutan apalagi membayangkan diriku menjadi seperti itu.
Aku mengedor-ngedor pintu kamar orang tuaku, berharap mereka baik-baik saja.
Namun yang kutemukan adalah sesuatu yang buruk.
Orang tuaku menjadi seperti adikku. Saat mereka melihatku yang ketakutan, mereka cepat-cepat mengejarku dengan langkah terseok-seok, tetapi cepat.
Aku berlari menuju pintu dan mencoba keluar. Seluruh anggota keluargaku kini berubah, sesuatu telah menginfeksi mereka.
"Tolong!" teriakku sembari mencoba membuka pintu rumah.
Aku harus bisa keluar rumah agar selamat, aku tidak ingin mati mengenaskan di dalam rumahku dalam keadaan terinfeksi dan menjadi monster.
Brak!
Pintu berhasil terbuka, aku buru-buru keluar rumah.
Aku melototkan mata saat melihat lingkungan sekitar.
Keadaan sekitar buruk, banyak mayat tergeletak di jalanan, mobil dan motor saling tabrak hingga menyebabkan kebakaran, asap membubung tinggi
"Ya tuhan. Ada apa ini?" gumamku. "Kacau sekali."
Salah satu rumah mewah yang sebagian besar bangunannya dari kaca itu pecah, membuat berpuluh-puluh manusia yang terinfeksi itu keluar.
Mereka menggeram dan melihatku.
"Sial!"
Aku berlari saat segerombolan zombi itu mengejarku seperti orang kelaparan.
Napasku terengah-engah. Aku tidak kuat lagi berlari.
Aku terjerembab di tanah karena merasa ada yang menjegal kakiku, atau mungkin ada yang sengaja memeganginya.
Aku menoleh.
Tangan keriput kehijauan itu memegang kakiku, mengcengkeramnya erat. Aku berusaha melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga zombi itu lebih besar.
Kesialanku bertambah saat segerombol zombi yang menjegarku tadi kini tahu keberadaanku.
Mereka menyerangku, walau aku sudah berusaha memberontak.
"Ayah, Ibu, maafkan aku," gumamku sebelum salah satu dari mereka menggigitku.
Aku sudah terinfeksi.
Selamat tinggal dunia.