Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menimang-nimang benda hitam kecil berkilat di tanganku dengan perasaan gembira tak tertahan. Ide itu datang delapan tahun lalu, dan baru bisa kulakukan sekarang. Aku telah mempelajari seluk beluk dunia bawah tanah hanya untuk mendapatkan barang mungil mematikan ini. Sebentar lagi—mungkin beberapa hari lagi—mimpiku delapan tahun lalu bakal terwujud. Ah, perasaan senang menyelimuti sepenuh diriku.
Selanjutnya merancang rencana pasti dan praktis. Yang paling penting jangan sampai ada orang lain yang tahu, selain aku dan lelaki yang ingin kubunuh itu. Aku mulai memikirkan kata-kata apa yang kuberikan menjelang kematiannya. Menyenangkan, bukan? Melihat wajah sahabat sendiri di akhir kehidupan. Atau terimakasih untuk waktu yang panjang ini, sekarang semua harus berakhir, hadapilah dengan berani. Atau tidak pernahkah kau berpikir bahwa kematian bisa semenakutkan ini. Membayangkannya saja darahku bergejolak. Sebentar lagi, sebentar lagi.
Aku ingin ia tahu bagaimana benci dan dendam dalam dadaku telah melimpah ruah terhadapnya. Aku ingin ia tahu kalau aku pun bisa berbuat lebih kejam daripada yang ia bisa lakukan. Sebenarnya, kami sudah akrab sejak kanak, aku tidak ingat pada umur berapa tepatnya—mungkin sejak aku bisa mengingat. Kami bermain dan belajar bersama selayaknya dua orang sahabat. Namun, delapan tahun lalu, entah kenapa aku mulai tidak menyukai orang itu. Aku tidak ingat peristiwa apa pemicunya. Aku mulai muak setiap melihat mukanya. Rasanya aku tidak ingin bicara dengannya. Tetapi laki-laki itu seperti tidak mengetahui apa pun, dan dia terus saja membahas hal-hal yang semakin membuatku sakit.
Intinya aku ingin ia mati. Itu saja.
***
Malam ini aku mengunjunginya. Berbincang-bincang seperti biasa. Aku berusaha seakrab mungkin. Kurang lebih setengah jam berlalu ketika dengan mendadak kutarik pistol mungil itu dari balik jaket. Laki-laki itu terperanjat. Air mukanya menampilkan wajah bingung bercampur ketakutan tak terkira. Namun hanya sesaat, kemudian ekspresinya kembali normal, seakan ia sudah lama tahu peristiwa ini bakal terjadi. Sebentar lagi kemenangan yang kunantikan bertahun-tahun lamanya akan datang. Gairah membunuhku sedang berada di puncak sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan yang telah kurangkai dengan gemilang itu. Peluru pun lepas dari sarangnya. Menusuk lurus di antara dua bola mata. Laki-laki itu tersungkur.
Aku rasakan tubuhnya jatuh ke lantai. Kemudian pandangannya mengabur. Yang kulihat terakhir kali hanya langit-langit kamar yang hening dan udara malam yang damai. Andai aku bisa keluar dari tubuhku, aku akan sangat senang melihat mimpiku terwujud.
***