Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dengan dada bergemuruh aku perbaiki saluran air dari bak tempat cuci piring. Airnya pampat, mungkin terhalang timbunan lemak dan sisa makanan bekas cucian piring. Sedikit sodokan tongkat besi dari arah luar cukup mengurai timbunan itu. Saluran pun lancar kembali. Aku beranjak ke target perbaikan selanjutnya.
"Kamu istirahat dulu, Rim," ibuku berujar sambil menggoreng telur ceplok kesukaanku.
"Istirahat, istirahat! Ini kerjaan masih banyak, malah disuruh istirahat!" Tak sengaja aku setengah membentak ibuku. "Aku lagi sibuk aja disuruh buru-buru ke sini. Benerin ini, benerin itu. Sekarang lagi ngebenerin malah disuruh istirahat!" Aku sembunyikan tangis tapi tak yakin ibuku tak mendengar isak di sela-sela ucapanku.
"Kemarin kenapa sih, gak nyuruh Mas Arman aja, Bu? Atau siapa aja, aku bayar biayanya. Kenapa harus nunggu aku? Aku kan jauh, Bu, susah mau ke sini."
"Bapakmu yang minta, Rim. Suruh si Karim ke sini, benerin saluran, keran, sama pintu kamar mandi," Ibu menirukan titah Bapak minggu lalu. Aku tahu, tidak menyebut kacamata adalah suatu kesengajaan. "Kamu tau sendiri, sebenarnya itu tanda Bapakmu mau minta maaf. Mau perbaiki hubungan kalian."
Ternyata tak sampai seharian semua pekerjaan telah selesai. Siang itu aku sudah terduduk di teras mengisap rokok, memegangi kacamata Bapak yang paling dulu selesai kuperbaiki sejak datang ke rumah ini.
Ibu datang membawa secangkir kopi. Aku sembunyikan kacamata itu ke kantong baju.
"Kenapa kemarin malah gak nunggu aku, Bu?" Bobol sudah, tangisku pecah.
"Itu juga bapakmu yang minta. Nggak usah ditunggu lagi, langsung aja katanya. Tadi belum sempat ke Bapakmu, kan? Beres ngopi ajak Arman nganter kamu ke makam Bapak."