Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Usia pernikahan Merry dan Pramudya sudah menginjak tahun ke-3. Pramudya bekerja sebagai HRD di perusahaan mi instan. Sedangkan Merry kesehariannya hanya mengurus anak. Sejujurnya, Merry hanyalah korban tren menikah muda karena dulu ia sering iri melihat teman-temannya yang menikah di usia muda. Tapi kini ia menyesalinya karena sejak menikah, ia harus menutup lembar cita-citanya rapat-rapat.
Satu-satunya sahabat yang belum menikah hanyalah Lisa. Lisa sukses menjadi seorang arsitek profesional. Namanya dikenal banyak orang, mulai dari artis, pengusaha, maupun pejabat pemerintahan.
Pramudya tak pernah memperbolehkan Merry untuk bekerja karena harus mengurus anak. “Cukup aku saja yang bekerja, kamu cukup di rumah mengurus dan mendidik anak,” kata Pramudya.
Sebelum menikah, Merry berpikir bahwa itu adalah kalimat manis yang Pramudya ucapkan. Tapi seiring berjalannya waktu, ia telah bodoh menyalah artikan kalimat tersebut.
***
Di malam yang cukup dingin kala itu, Merry datang menemui Lisa. Ia menceritakan pada Lisa tentang apa yang ia rasakan setelah menikah. Lisa hanya bisa memberinya sedikit masukan agar Merry bisa membicarakan hal ini pada suaminya itu. “Perempuan tidak harus berdiam diri, perempuan bukanlah mesin pencetak anak yang hanya bisa melahirkan, merawat, serta mendidik anak.”
“Maksudnya?” Merry belum menangkap maksud itu.
“Satu hal yang membuatku belum menikah sampai saat ini adalah karena aku punya cita-cita yang harus aku gapai. Kamu sebagai perempuan juga berhak kok punya cita-cita.”
“Tapi aku punya anak yang harus aku rawat dan aku didik dengan baik.”
“Kamu punya suami, tugas merawat dan mendidik seorang anak bukan hanya tugasmu, tetapi juga tugas suamimu.”
Ucapan tersebut cukup menampar Merry karena apa yang dikatakan Lisa adalah benar.
***
Sesampainya di rumah, Merry mencoba berbicara pada Pramudya. “Mas Pram,” ucapnya sambil menyuguhkan teh untuk Pramudya.
“Iya, ada apa?”
“Aku boleh kerja?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Aku sudah pernah bilang kan? Kamu cukup di rumah saja ngurus anak.”
“Tapi kan, aku punya cita-cita. Aku bukan mesin pencetak anak yang tugasnya hanya melahirkan, mendidik dan merawat anak. Aku berhak punya masa depan untuk diriku sendiri kan?”
“Lalu siapa yang akan merawat dan mendidik anak kita?”
“Kita bisa bergantian. Tugas merawat dan mendidik anak bukan hanya tugas seorang ibu, lalu seorang ayah? Apakah seorang ayah hanya mengajak anaknya bermain di saat hari libur? Seharusnya seorang ayah juga bisa merawat dan mendidik anaknya.”
Pramudya akhirnya menyadari bahwa apa yang Merry katakan ada benarnya. “Ya sudah, kamu boleh bekerja. Soal anak, kita nanti pikirkan bersama jalan keluarnya.”
“Terima kasih ya Mas Pram ....”
Akhirnya permasalahan itu dapat Merry selesaikan dengan baik. Perempuan tidak harus berdiam diri menjadi seorang ibu rumah tangga. Perempuan adalah makhluk yang diciptakan setara dengan laki-laki. Apa yang laki-laki lakukan, juga bisa dikerjakan perempuan dan apa yang perempuan kerjakan, harus bisa dikerjakan oleh laki-laki pula.
***